liga188 alternatif

2024-10-08 00:27:56  Source:liga188 alternatif   

liga188 alternatif,toto sakti togel,liga188 alternatif

Jakarta, CNBC Indonesia -Pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi tertekan di bawah 5% mulai kuartal III-2024, dipicu oleh deflasi beruntun yang terjadi empat bulan terakhir hingga angka Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang di zona kontraksi dua bulan terakhir.

Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan, khusus untuk data deflasi yang per Agustus 2024 di level 0,03% secara bulanan atau month to month (mtm) berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) memang sebetulnya dipicu oleh penurunan harga pangan bergejolak atau volatile food.

Namun, yang menjadi masalah ialah tren deflasi itu muncul seiring dengan data terus menurunnya jumlah kelas menengah karena daya belinya tertekan, hingga munculnya data PMI Manufaktur Indonesia yang makin ambruk di zona kontraktif, yakni dari Juli di level 49,3 menjadi 48,9 per Agustus 2024.

"Sehingga ini pun juga menjadi early indicator nya ataupun forecasting nya untuk pertumbuhan ekonomi di kuartal III ada potensi juga di bawah 5%," ucap Josua dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (3/9/2024).

Baca:
Awal September, Jokowi Langsung Dapat 2 "Tamparan" Keras

Josua mengatakan, ketika berbagai indikator daya beli masyarakat menurun, maka mengonfirmasi data BPS terkait jumlah kelas menengah yang mulai menyusut porsinya, karena mereka turun kasta masuk ke golongan kelas menengah rentan atau aspiring middle class, serta kelompok masyarakat rentan miskin.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2019 sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.

Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas. Karena, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.

Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.

"Jadi artinya memang kalau tadi kelas menengah ini terindikasi menunjukkan adanya tren perlambatan ataupun penurunan daya beli masyarakat yang kelas menengah, tentunya dikhawatirkan nantinya adalah konsumsi kita, pertumbuhan laju konsumsi masyarakat, ini masih akan tetap di bawah 5%," ujar Josua.

Baca:
Prabowo Mau Bentuk Lagi Kementerian Perumahan, Ini Kata Sri Mulyani

"Dan itu masih terjadi, sekalipun kita sudah melewati fase pandemi COVID-19, namun pada kenyataannya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini sendiri masih tetap di bawah 5%, sehingga ini tentunya yang dikhawatirkan nantinya adalah dari sisi pertumbuhan ekonomi kita di beberapa kuartal ke depan ini, ini cenderung akan cukup terbatas," tegasnya.

Meski begitu, pemerintah dan otoritas moneter yakni Bank Indonesia menganggap bahwa deflasi yang terjadi empat bulan beruntun seiring dengan terus anjloknya angka PMI Manufaktur belum menjadi alarm yang menandakan aktivitas ekonomi domestik tengah melemah.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan, kondisi itu disebabkan deflasi sendiri terjadi karena harga-harga pangan yang menurun drastis, yang menjadi pertanda bahwa pemerintah mampu mengendalikan harga pangan secara baik.

"Enggak, enggak (alarm). Kan pangan yang pemicunya, berarti kan berhasil pengendalian pangan, jadi lebih ke pangan ya, kan pangannya deflasi gede," ujar Destry di Gedung DPD RI, Jakarta.

Baca:
RI Deflasi Empat Bulan Beruntun, Sri Mulyani Buka Suara

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menganggap, deflasi empat bulan beruntun yang terjadi di Indonesia ini tidak mencerminkan daya beli masyarakat yang tengah tertekan.

Ia mengatakan, ukuran daya beli masyarakat yang terlihat dalam inflasi biasanya tercermin dari terus tertekannya angka inflasi inti. Sementara, deflasi yang terjadi saat ini lebih karena anjloknya inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food.

Sebagaimana diketahui, angka inflasi inti per Agustus 2024 di level 0,20% naik tipis dari bulan sebelumnya di level 0,18%. Sementara itu, harga pangan bergejolak deflasi sebesar 1,24%, melanjutkan tren deflasi bulan sebelumnya di level 1,92%.

"Kalau lihat dari core inflation-nya masih positif, mungkin bukan dari situ," kata Sri Mulyani saat ditemui di kawasan Gedung DPD RI, Jakarta.

"Kalau deflasi berasal dari harga pangan, itu kan memang diupayakan oleh pemerintah untuk menurunkan, terutama kan waktu itu inflasi dari unsur harga pangan kan cukup tinggi terutama dari beras, kemudian El Nino, jadi kalau penurunan koreksi terhadap harga pangan itu menjadi tren yang positif," tegasnya.

Meski begitu, Sri Mulyani menekankan, pemerintah tentu tetap waspada terhadap data-data strategis tersebut. Hanya saja, ia menekankan, deflasi empat bulan beruntun itu tidak disebabkan angka inflasi inti yang ambruk, sehingga menandakan daya beli masyarakat turun.

"Kita akan tetap waspada ya, kalau kita lihat core inflation-nya masih cukup bagus dan masih tumbuh, ya itu oke," ungkap Sri Mulyani.


(arj/haa) Saksikan video di bawah ini:

Video: RI Alami Deflasi 5 Bulan Beruntun, Alarm Pelemahan Daya Beli

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">Next Article Konsumsi Warga RI Tumbuh di Bawah 5%, Sri Mulyani Bilang Ini Tetap Oke

Read more