alternatif galaxytoto login

2024-10-08 03:55:34  Source:alternatif galaxytoto login   

alternatif galaxytoto login,nomer togel cicak,alternatif galaxytoto login

Jakarta, CNBC Indonesia -Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti kerentanan kawasan ASEAN terhadap dampak perubahan iklim. Menurut proyeksi Bank Pembangunan Asia (ADB), PDB ASEAN ini berisiko turun hingga 11% akibat perubahan iklim.

Meskipun, saat ini, ASEAN menyumbang 7% emisi karbon global, tetapi Sri Mulyani menilai ASEAN memiliki peluang untuk mengatasi efek perubahan iklim.

"Dengan keragaman perekonomian ASEAN, selalu ada peluang untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, secara bersamaan selalu ada tantangan untuk memastikan bahwa setiap negara anggota ASEAN memiliki kemampuan dan kecukupan dana untuk mengatasi isu perubahan iklim," ungkap Sri Mulyani dalam Decarbonisation Opportunities in ASEAN' pada ajang Indonesia International Sustainability Forum 2024 (ISF 2024), dikutip Rabu (11/9/2024).

Baca:
Bulan Menjauh Tinggalkan Bumi, Peneliti Ramal Dampak Mengerikan

Akibat tantangan keterbatasan ini, dia menilai dekarbonisasi di kawasan ASEAN juga harus memprioritaskan optimalisasi investasi publik dan swasta, karena upaya ini bisa memakan biaya yang sangat mahal.

Sri Mulyani mengaku senang mengetahui bahwa taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan dapat berfungsi sebagai kerangka kerja yang berharga bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam upaya dekarbonisasi, terutama dalam mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan yang dapat mendukung tujuan penghindaran perubahan iklim.

Sementara itu, dia mengungkapkan Indonesia menetapkan 31,89% sebagai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 tanpa bantuan internasional.

Sedangkan, target penurunan emisi GRK Indonesia dengan bantuan internasional pada tahun 2030 ditetapkan sebesar 43,2%. Untuk itu Indonesia memerlukan dana US$ 281 miliar.

"Meski pemerintah tentu saja memainkan peran yang sangat penting dan utama, sektor swasta sebenarnya perlu melangkah maju dan akan terus memainkan peran yang jauh lebih signifikan. Mereka dapat terlibat melalui pengurangan emisi karbon dengan juga mengadopsi ESG, praktik keberlanjutan, dan juga mendanai teknologi hijau," ujarnya.

Bahkan, menurutnya, peran sektor swasta beserta lembaga filantropi, lembaga keuangan multilateral, dan komunitas internasional tidak hanya penting, tetapi juga menjadi suatu keharusan.

Sementara itu, Standard Chartered Group CEO Bill Winters menekankan salah satu kendala terbesar dalam transisi energi bukanlah adanya kekurangan dana, namun tantangan untuk mengarahkan modal ke tempat yang paling membutuhkan.

Baca:
RI Perlu Belajar Dari Malaysia Kembangkan Ekonomi Syariah, Kenapa?

Menurutnya, sejumlah perubahan kebijakan di ASEAN dan Indonesia telah membantu menciptakan kerangka standar untuk menjembatani kesenjangan antara investor dan proyek yang membutuhkan pendanaan.

"Pada dasarnya, tugas kami selaku pelaku industri bisnis adalah mendorong keterlibatan sektor swasta, bersamaan dengan kebijakan publik dan pendanaan publik. Kita dapat bersama-sama membahas bagaimana kita dapat mengajak sektor swasta untuk membantu pencapaian berbagai tujuan sektor publik," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Namun, langkah ini harus sejalan dengan upaya selaras dari sektor publik.

"Jika kita melakukan hal tersebut, melalui kemitraan, kita dapat fokus pada hal-hal yang dapat memberikan dampak terbesar, dan saya yakin bahwa kita dapat menyelesaikan masalah," tambahnya.

Upaya Dekarbonisasi di ASEAN

Sementara itu, Laporan Southeast Asia's Green Economy 2024 yang dirilis oleh Bain & Company, GenZero, Standard Chartered dan Temasek telah mengidentifikasi 13 ide investasi untuk dekarbonisasi yang menghadirkan peluang ekonomi hingga US$ 150 miliar pada tahun 2030.

Ide-ide ini mencakup sektor-sektor seperti alam dan pertanian, listrik, transportasi, dan bangunan, untuk mengatasi tantangan-tantangan unik di kawasan ASEAN dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan transisi energi.

Baca:
Media Vietnam Sebut Indonesia Guncang Dunia dan Terbaik di ASEAN

Dale Hardcastle, Partner, Bain & Company, mengungkapkan laporan tahun ini juga mengidentifikasi lima aspek yang dapat mempercepat transisi hijau di kawasan Asia Tenggara insentif kebijakan yang lebih komprehensif, mekanisme keuangan yang inovatif, peningkatan investasi dari sektor swasta, pengembangan proyek percontohan dan kolaborasi regional.

Laporan ini juga menunjukan keberhasilan Indonesia mencapai peningkatan Skor Indeks Hijau tahun 2024, yang dibantu oleh kemajuan yang terlihat dalam emisi Gas Rumah Kaca dan peluncuran JETP CIPP

"Indonesia juga mengalami peningkatan yang stabil sebesar 28% dalam investasi ramah lingkungan swasta di tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, masih terdapat kesenjangan investasi dan upaya signifikan yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan investasi modal sebesar US$ 108 miliar," ungkap Hardcastle.

Menurutnya, agar Indonesia dapat mempercepat pengembangan ekonomi hijau, laporan ini menyarankan upaya kolaboratif antara sektor publik dan swasta untuk pendanaan transisi, pengembangan penetapan harga karbon, dan upaya untuk menciptakan lingkungan yang kompetitif, seperti memanfaatkan ketersediaan mineral nikel yang berlimpah untuk memenfaatkan industri kendaraan listrik.


(haa/haa) Saksikan video di bawah ini:

Video: Indonesia Masih Kalah Jauh Dari Singapura Soal Investasi

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">Next Article Dibeking Amerika-Jepang, Tetangga RI Pede Asean Berubah

Read more